Quo Vadis Sasando

Oleh Iwan Paul

 

Sasando, alat musik tradisional khas Indonesia yang berasal dari Pulau Roti, Nusa Tenggara Timur, kini telah cukup sering menjelajahi dunia. Tidak jarang acara-acara yang mengangkat tema seni dan budaya Indonesia di manca negara menampilkan permainan Sasando. Penggunaan Sasando untuk membawakan lagu-lagu Indonesia ini pun cukup menarik perhatian berbagai kalangan, meski mungkin baru sebatas di acara-acara eksibisi maupun seremonial yang bertajuk temu budaya antar bangsa. Namun apakah itu adalah sebuah kemajuan yang signifikan dalam pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia, khususnya musik tradisional Nusantara? Belum tentu.

Sejalan dengan terpaan media dan imperialisme budaya Barat di Indonesia, musik Barat beserta berbagai pakem melodi dan harmoni yang diatonis beserta pola ritmiknya, telah diadopsi oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Termasuk dalam musik tradisi. Hal ini memang tidak bisa dihindari. Namun, cukup disayangkan apabila kenyataan ini pada akhirnya berakibat pada hilang atau matinya musik tradisi yang otentik dari berbagai daerah di Nusantara.

Hal itu juga terjadi di musik Sasando. Sejauh ini tampaknya alat musik Sasando lebih banyak digunakan untuk membawakan lagu-lagu yang bukan berasal dari Nusa Tenggara Timur. Bahkan pemain-pemain Sasando dari tempat alat musik itu berasal, kini lebih banyak membawakan lagu-lagu pop Indonesia maupun Barat. Di kancah internasional pun, lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu khas Indonesia seperti Bengawan Solo, Sepasang Mata Bola, dan berbagai lagu-lagu wajib nasional. Bagaimana dengan musik tradisional otentik yang awalnya dimainkan dengan Sasando di tanah leluhurnya sendiri?

Di CD Discover Indonesia, ada salah satu musik Sasando cukup otentik. Di lagu itu terdengar suara dua Sasando dan vokal penyanyi yang mengikuti nada-nada yang dimainkan Sasando. Ciri utama yang paling menonjol di situ adalah penggunaan nada-nada pentatonik–yang sama dengan pentatonik pelog Jawa. Dari salah satu sumber dikatakan bahwa musik Sasando adalah sebuah bentuk permainan musik yang diambil dari permainan musik gong/gamelan Nusa Tenggara Timur. Ini menjelaskan pola ritmik yang repetitif beserta berbagai aksen perkusif seperti yang biasa dimainkan dalam musik gamelan dan gong. Kalimat-kalimat musiknya pun tidak seperti pada kaidah musik Barat modern yang biasanya menggunakan jumlah ketukan genap dan birama yang sama dari awal sampai akhir.

Meski dengan pilihan nada yang jauh berbeda, secara sekilas musik Sasando ini terdengar seperti lagu folk atau blues Amerika di masa-masa awal kelahirannya. Musik yang muncul di ladang atau perkebunan pedesaan dan kota-kota kecil pinggiran. Melodi lagu yang dinyanyikan sangat sederhana dan diulang-ulang. Cara menyanyikannya pun sangat khas dengan cengkok tertentu yang menurut saya terdengar seperti cara bertutur penyanyi folk asal Skotlandia dan Irlandia dalam musik tradisional Celtic yang biasa disebut “gaelic singing”.

Semua ciri musik Sasando ini sangat berbeda dengan pakem-pakem musik pop yang muncul di abad modern. Namun sayangnya ciri-ciri ini sepertinya sedikit demi sedikit mulai hilang ditelan peradaban. Proses regenerasi musik tradisi ini juga sudah berada di ambang kepunahan, digantikan dengan musik-musik pop ala Barat yang mewabah dengan sangat cepat hingga ke pelosok Nusantara.

Alat musik Sasando yang diproduksi di tempatnya berasal kini menjadi semakin modern. Menurut salah satu sumber, awalnya Sasando hanya memiliki senar yang bernada heksatonik. Namun demi memenuhi permintaan pasar, pengrajin Sasando saat ini kebanyakan membuat Sasando yang memiliki nada diatonis. Bahkan Sasando jaman sekarang sudah menggunakan senar gitar yang dapat disetem dan dilengkapi dengan pick up serta colokan untuk jack, sehingga pemainnya bisa dengan mudah menyambungkannya ke amplifier untuk pertunjukan di atas panggung.

Kemajuan teknologi dalam pembuatan Sasando ini tentu saja bukanlah hal yang buruk. Namun pada akhirnya ini hanya merupakan pelestarian bentuk fisik alat musik Sasando, yang tidak berpengaruh pada pelestarian musik tradisional otentik asal Nusa Tenggara Timur. Tidak ada yang bisa disalahkan di sini, bukan pengrajinnya, bukan pemainnya, bukan pula masyarakatnya. Karena kebudayaan memang akan selalu berubah dan beradaptasi dari masa ke masa. Namun selama masih ada orang-orang yang peduli dan mampu bertindak, musik tradisi ini akan terus hidup dan diperbaharui dalam bentuk-bentuk yang lebih adaptif, sekalipun hanya di kalangan yang terbatas.

 

Iwan Paul

5 Maret 2012

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s