Gambang Kromong, Jazz dan Keroncong

Oleh Iwan Paul

Jakarta, siang hari, di sebuah perkampungan padat, sayup-sayup terdengar alunan musik orkes Gambang Kromong yang mengiringi seorang penyanyi perempuan bersuara mendayu-dayu. Saya berjalan melalui beberapa gang kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Sesekali tercium wangi deterjen cuci maupun aroma ikan asin yang sedang digoreng dari rumah-rumah yang berdempetan satu sama lain. Suara musik gambang kromong semakin jelas terdengar, hingga akhirnya saya tiba di rumah tempat dilangsungkannya pesta pernikahan dari anak penjaga kompleks rumah saya.

Di pesta pernikahan itulah rombongan orkes Gambang Kromong itu bermain di atas sebuah panggung kecil setinggi 1 meter. Gang kecil sepanjang 10 meter ditutup dan dipenuhi dengan kursi-kursi lipat yang dinaungi tenda biru. Sebuah rumah kecil di depan gang menjadi tempat pelaminan mempelai dan tempat tamu mengambil makanan. Tamu-tamu berdatangan dan seusai menyalami pemilik hajat, mereka makan dan ngobrol sambil menikmati pertunjukkan musik. Meski daerah itu cukup teduh, tapi cuaca Jakarta yang panas tidak elak membuat sebagian tamu kepanasan, apalagi dengan batik dan kebaya rapi yang mereka kenakan. Namun permainan gambang kromong membuat suasana tetap meriah, apalagi diselingi dengan lawakan-lawakan dari MC dan penyanyi yang berlogat Betawi kental.

Itulah gambaran suasana tempat bermainnya sebuah orkes Gambang Kromong. “Musik rakyat” Jakarta yang telah berumur ratusan tahun ini masih cukup sering ditanggap di acara-acara pernikahan orang Betawi maupun pesta-pesta rakyat seperti ulang tahun Jakarta. Namun, sama seperti keberadaan etnis dan budaya Betawi, posisinya kini semakin terdesak ke pinggiran Jakarta. Apalagi dengan serbuan pendatang dari luar Jakarta sejak puluhan tahun lamanya, serta dominasi musik pop dan dangdut lokal, maupun musik Barat.

Sekilas Asal Usul

Bicara tentang asal usul musik gambang kromong mengajak kita kembali ke Jakarta–yang dulu bernama Batavia–di pertengahan abad ke-18. Menurut salah satu sumber dikatakan bahwa musik ini lahir di perkebunan milik Nie Hu Kong di Tangerang. Saat itu ada sekelompok pemain musik pribumi yang berkolaborasi dengan dua orang perempuan dari Cina yang baru datang dengan membawa Tehyan dan Kongahyan. Sumber lain mengatakan bahwa saat Nie Hu Kong menjadi Kapiten Cina di Batavia, ia membuat pesta dan menghibur para tamu dengan musik Gambang Kromong.

Sejak itulah musik Gambang Kromong mulai berevolusi. Dari awalnya yang hanya menggunakan instrumen gamelan Betawi (gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul dan gong) dan instrumen Cina (tehyan, kongahyan, dan sukong), hingga masuknya penggunaan instrumen-instrumen dari Barat seperti alat tiup dan gitar, sampai ke instrumen elektrik di abad ke-20.

Corak musiknya juga mengalami evolusi. Awalnya musik gambang kromong hanya membawakan lagu-lagu instrumental dari daerah Hokkian Selatan yang disebut phobin. Kemudian musik ini berkembang dengan dibawakannya lagu-lagu karya musisi atau seniman Betawi, serta beradaptasi sebagai musik pengiring Cokek maupun Lenong Betawi, hingga saat musik ini memainkan lagu-lagu pop modern di tahun 50-an hingga kini.

Gambang Kromong dan Jazz

Dari sekian banyak dokumentasi yang ada di internet, saya mendengar ada banyak kemiripan antara musik Gambang Kromong dengan musik jazz di awal perkembangannya di Amerika. Meskipun memang dari segi pilihan nada atau scale dan pola ritmiknya jelas terdapat perbedaan antara musik Gambang Kromong dan jazz, namun dalam hal format dan pembagian fungsi/peran instrumennya terdapat banyak kemiripan.

Pertama-tama, di musik Gambang Kromong seluruh pemain instrumen selalu memainkan improvisasi, baik dari segi ritmik/irama maupun nada, berdasarkan lagu yang dibawakan. Penyanyi pun bebas berimprovisasi dalam membawakan lagu.

Kemudian, di beberapa musik Gambang Kromong yang bertempo lambat, saya melihat adanya kemiripan dengan musik blues awal di Amerika, dimana si penyanyi membawakan lagu seperti bercerita atau mencurahkan isi hati dengan nada-nada sendu dan liris. (Contoh A dan B).

Ada juga musik Gambang Kromong bertempo medium, yang bagi saya terdengar seperti musik jazz dixieland New Orleans, Amerika. Apalagi di salah satu lagu yang saya temukan, yang meski ciri musiknya masih terdengar cukup otentik, namun lagu itu menggunakan terompet dan gitar elektrik yang juga ikut berimprovisasi sahut menyahut. (Contoh C)

Gambang Kromong dan Keroncong

Saya juga mendengar begitu banyak kemiripan antara Gambang Kromong dengan Keroncong. Dalam hal ini, bahkan irama dan pilihan nada di kedua jenis musik itu bisa dikatakan hampir sama. Yang berbeda bisa jadi hanya di penggunaan alat musiknya saja.

Berikut ini adalah analisis saya tentang penggunaan alat musik di Gambang Kromong dibandingkan dengan Keroncong:

  • Fungsi Kongahyan, Tehyan, dan Sukong di Gambang Kromong dimainkan oleh biola di Keroncong
  • Alat musik gesek dan suling di Gambang Kromong maupun Keroncong sama-sama berimprovisasi di tengah-tengah lagu, menimpali penyanyi
  • Fungsi gambang dan kromong sebagai latar improvisasi melodi di Gambang Kromong dimainkan oleh gitar di Keroncong
  • Fungsi ritmik dan harmoni kromong dan kenong dimainkan oleh ukulele di Keroncong
  • Fungsi ritmik kendang di Gambang Kromong dimainkan oleh cello di Keroncong
  • Fungsi kenong dan gong di Gambang Kromong yang menandai setiap beberapa ketuk dapat diwakili oleh contra-bass di Keroncong. Di Keroncong, contra bass juga berperan memperkuat dasar harmoni lagu.

Saya berasumsi bahwa musik Keroncong adalah salah satu cabang perkembangan evolusi dari Gambang Kromong yang sedikit banyak dipengaruhi oleh musik dari Portugis. Atau dengan kata lain, Keroncong adalah musik Gambang Kromong yang diadopsi ke dalam instrumentasi: ukulele, gitar, biola, cello, dan contra bass.

Penutup

Gambang Kromong merupakan salah satu bentuk fusi atau penyatuan beberapa unsur musik dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, sebagai hasil dari pertemuan beberapa etnis dan suku bangsa di Jakarta, Indonesia. Ini sama seperti yang terjadi dengan banyak jenis musik lain di seluruh dunia. Termasuk jenis musik yang saat ini populer dan mendunia, seperti: jazz yang awalnya lahir dari pertemuan musik Afrika dengan Eropa di Amerika; dan samba yang muncul dari pertemuan musik Afrika, Portugis, dan Indian di Brazil.

Sebagai musik tradisional khas Jakarta yang telah berusia ratusan tahun, tentu saja Gambang Kromong perlu dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya Jakarta dan Indonesia. Namun apakah musik ini bisa semakin besar dan mendunia seperti halnya jazz dan samba? Saya tidak ingin bermuluk-muluk. Karena bagaimanapun, seperti halnya produk-produk budaya yang lain, musik-musik tertentu bisa berkembang dan menjadi besar karena adanya dorongan dari situasi dan kondisi berbagai faktor, seperti konteks sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain.

Bagi saya pribadi yang penting adalah: Gambang Kromong dan musik-musik khas Jakarta lainnya, bisa tetap bertahan dan eksis di sini. Ini akan menjadi salah satu hal penting yang menjadikan kebudayaan Jakarta tetap istimewa di mata dunia hingga berpuluh-puluh tahun ke depan.

13 September 2011

Sumber:

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s